Pada tagihan itu terdapat tulisan tangan berupa kata-kata tidak pantas berkonotasi seksual dan menyerang secara fisik terhadap salah satu tamu perempuan itu.
Setelah ramai di media sosial, pemilik restoran melakukan investigasi dan mengambil tindakan pemecatan terhadap oknum pramusaji tersebut sehingga mengundang pujian dari warganet.
Kasus-kasus pelecehan, khususnya verbal, layaknya seperti fenomena gunung es. Bila korban berani berbicara atau speak up tanpa rasa takut, maka kasusnya bisa menjadi viral dan mendapatkan solusi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun tidak demikian, bagi sebagian orang, seperti anak-anak, khususnya remaja dan perempuan dewasa yang tidak memiliki nyali mengungkapkan peristiwa tersebut.
Alih-alih menulis di media sosial, mengadu kepada orang tua atau teman dekat saja merasa malu.
Belum lagi, munculnya kekhawatiran akan adanya intimidasi dari pihak terkait, baik pelaku pribadi, kelompok hingga mewakili instansi atau perusahaan, yang umumnya akan bertindak resisten dan menutup-nutupi permasalahan.
Pelecehan seksual dapat masuk kategori suatu delik aduan yang berpotensi sebagai perbuatan pidana.
Pelecehan seksual verbal sebagai tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur, asas dalam hukum pidana, serta nilai-nilai yang terkandung di masyarakat.
Ancaman Pidana
Pelecehan verbal adalah tindak pidana, mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Tindakan tersebut tertuang dalam Pasal 5 UU TPKS, dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.
Namun, kepedulian masyarakat terhadap pelecehan verbal di tempat umum sangat minim, sehingga mengakibatkan reaksi masyarakat yang relatif apatis ketika terjadi kasus serupa.
Memang, bentuk pelecehan verbal agaknya paling sulit untuk menindaklanjuti, sebab bukti yang tidak cukup.
Pelecehan verbal kerap disepelekan, padahal tindakan pelecehan yang satu ini bisa menjadi sebab dari tindakan pelecehan yang lebih jauh lagi.(*)
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya