Ini adalah sebuah dialektika yang menarik. Globalisasi dan identitas lokal bukanlah dua kutub yang saling bertentangan, tetapi dua kekuatan yang bisa saling melengkapi.
Oleh: Widuri Aprilia dan Annisa Oktavira
Di tengah gemuruh globalisasi yang seolah tak terbendung, kita mendapati diri kita berada di persimpangan jalan yang membingungkan. Ibarat seorang musafir yang membawa bekal warisan leluhur, kita dihadapkan pada godaan dunia modern yang menawarkan segalanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di satu sisi, aroma rempah-rempah kampung halaman begitu kuat, menggugah ingatan akan tradisi dan nilai-nilai luhur. Di sisi lain, kilauan lampu kota global begitu memikat, menjanjikan kemudahan, kemajuan, dan pengakuan dunia.
Globalisasi, dengan segala keajaiban-nya, telah membuka jendela dunia bagi kita. Informasi, budaya, dan teknologi dari berbagai penjuru bumi kini dapat kita akses dengan mudah. Kita bisa
menikmati hidangan Jepang, mendengarkan musik Korea, atau mengenakan pakaian dari desainer Italia tanpa harus meninggalkan rumah.
Namun, di balik kemudahan ini, terselip kekhawatiran akan hilangnya identitas lokal. Seolah-olah kita sedang menyaksikan tarian perlahan namun pasti, di mana budaya-budaya lokal mulai kehilangan pesona, tergerus oleh arus homogenisasi global.
Generasi muda, yang tumbuh dalam era digital, seringkali lebih akrab dengan budaya pop global daripada dengan tradisi leluhur mereka.
Bahasa asing terdengar lebih keren daripada bahasa daerah, musik K-pop lebih menarik daripada lagu-lagu tradisional, dan gaya hidup ala Barat lebih diminati daripada kearifan lokal. Ini bukan berarti mereka tidak mencintai budaya mereka, tetapi lebih kepada kurangnya pemahaman dan apresiasi terhadapnya.
Namun, di tengah kekhawatiran ini, kita juga melihat adanya gelombang kebangkitan identitas lokal. Semakin banyak orang yang menyadari pentingnya melestarikan warisan budaya. Mereka mulai mempelajari kembali bahasa daerah, menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang hampir punah, dan mempromosikan produk-produk lokal yang unik. Seolah-olah mereka sedang membangun benteng pertahanan, menjaga agar api identitas lokal tetap menyala di tengah badai globalisasi.
Halaman : 1 2 Selanjutnya