Namun, kelalaian ini bukan hanya kesalahan debitur, dalam konteks inflasi dan tekanan ekonomi makro itu adalah konsekuensi dari force majeure ekonomi (keadaan memaksa) yang tidak dapat ditangani oleh pihak-pihak.
Dalam hal ini, praktisi hukum dan lembaga keuangan seharusnya bersikap bijaksana. Mereka seharusnya membedakan antara debitur yang tidak mampu karena keadaan ekonomi mereka dan debitur yang tidak mampu secara sengaja.
Bank sepatutnya tidak langsung menempuh jalur litigasi atau eksekusi jaminan tanpa terlebih dahulu mengedepankan prinsip keadilan kontraktual. Prinsip itikad baik (good faith) sebagaimana termuat dalam Pasal 1338 KUHPerdata harus tetap menjadi pijakan utama dalam menyikapi kasus-kasus wanprestasi akibat inflasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
NPL dan Risiko Sistemik Bagi Perbankan
Dari perspektif perbankan, peningkatan jumlah debitur yang gagal bayar berdampak pada pendapatan bunga dan rasio NPL, yang merupakan ukuran kesehatan bank. Menurut laporan triwulanan OJK, Kota Medan mengalami peningkatan NPL sebesar 0,7% di sektor perdagangan dan properti per Maret 2025. Ini belum termasuk kemungkinan gagal bayar dari kredit multiguna dan konsumtif yang masih dalam masa tenggang pembayaran setelah pandemi.
Bank harus membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang signifikan ketika NPL melebihi ambang batas 5%. Ini akan mengurangi keuntungan dan menghalangi penyaluran kredit baru. Ini berarti bahwa akan ada dampak yang lebih besar pada ekonomi kota secara keseluruhan jika keadaan ini tidak ditangani segera.
Solusi Adaptif dan Respon Hukum
Menyikapi situasi ini, diperlukan pendekatan hukum dan kebijakan yang holistik. Pertama, bank perlu mengaktifkan skema restrukturisasi kredit secara selektif. Hal ini sejalan dengan kebijakan OJK melalui POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Opsi restrukturisasi seperti penjadwalan ulang, penurunan suku bunga, atau pemberian masa tenggang pembayaran harus dipertimbangkan sebagai langkah awal.
Kedua, negosiasi terbuka antara debitur dan bank harus menjadi bagian dari prosedur baku penanganan kredit bermasalah. Debitur yang kooperatif patut diberi ruang untuk mencari solusi tanpa ancaman langsung terhadap jaminan mereka. Di sinilah pentingnya peran pengacara atau konsultan hukum dalam memediasi dan mengawal proses tersebut.
Ketiga, pemerintah daerah dan asosiasi perbankan di Medan dapat membentuk forum mediasi kredit lokal, di mana bank, pengusaha, dan pihak hukum duduk bersama menyusun protokol penyelesaian kredit macet yang manusiawi, efisien, dan tidak semata-mata mengandalkan mekanisme pengadilan.
Antisipasi Risiko dan Arah Kebijakan
Ke depan, pemerintah dan regulator harus menyadari bahwa krisis ekonomi tidak selalu datang dalam bentuk resesi, tetapi bisa muncul dari tekanan jangka menengah seperti inflasi. Dalam situasi seperti ini, fleksibilitas kontrak, keberpihakan terhadap UMKM, serta literasi hukum menjadi kunci.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya