Padahal dari sisi regulasi, Institusi Polri punya prosedur yang sangat ketat dalam penggunaan senjata api. Setidaknya terdapat tiga aturan internal yang mengatur hal ini
Oleh: Amin Multazam
Kasus penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam beberapa pekan belakangan sedang menuai sorotan publik. Mulai dari peristiwa polisi tembak polisi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar), hingga penembakan terhadap seorang siswa SMK di Semarang, Jawa Tengah, oleh Aipda R.
Berbagai pihak, mulai dari pengamat hingga anggota legislatif, kini ramai mendesak agar dilakukan proses audit penggunaan senjata api Polri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebenarnya bila kita mau sedikit lebih teliti, kecenderungan polisi menyalahgunakan penggunaan senjata api bukanlah hal baru. Institusi Polri selama ini memang ‘ringan tangan’ dalam menggunakan senjata api. Hal demikian tercermin dari betapa mudahnya kita menemukan informasi terkait para pelaku kejahatan yang dipertontonkan dengan kondisi luka tembak.
Menariknya, banyak dari mereka (pelaku kejahatan-red), saat diringkus justru dalam kondisi sehat walafiat. Cukup dengan menggunakan dalil melawan aparat, lalu tambahkan kalimat ‘tindakan tegas dan terukur’, maka prosedur penggunaan senjata api jarang dipersoalkan publik. Apalagi bila peluru polisi menyasar pelaku kejahatan seperti begal, narkoba, pencuri, pelaku asusila dan ragam kejahatan umum lainnya.
Mengacu pada fenomena yang hampir saban hari kita saksikan tersebut, akuntabilitas penggunaan senjata api oleh polisi seperti kehilangan urgensitas-nya. Padahal dari sisi regulasi, Institusi Polri punya prosedur yang sangat ketat dalam penggunaan senjata api. Setidaknya terdapat tiga aturan internal yang mengatur hal ini.
Mulai dari Perkap 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, Perkap 8/2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip HAM Dalam Tindakan Polri maupun Perpol 1/2022 Tentang Perizinan, Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Standar Polri.
Pada intinya, senjata api merupakan tahapan paling akhir dalam penggunaan kekuatan kepolisian. Semata-mata dilakukan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri maupun masyarakat.
Kepolisian juga mengenal sejumlah prinsip penggunaan kekuatan, termasuk senjata api. Pertama, prinsip legalitas, bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Kedua, prinsip nesesitas, bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi.
Ketiga, prinsip proporsionalitas, bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.
Memang aneh bin ajaib. Di tengah aturan yang begitu ketat dalam konteks penggunaan senjata api, personel polisi justru kerap menggunakannya secara serampangan, bahkan sewenang-wenang.
Mekanisme pengawasan oleh pimpinan Polri, lembaga pengawas eksternal maupun internal terkait penggunaan senjata api memang layak dipertanyakan. Titik tekan evaluasi harus berangkat dari mengapa aturan-aturan tersebut gagal di jalankan secara baik dan benar.
Editor : Muchlis
Halaman : 1 2 Selanjutnya