Sementara itu, konsep hegemoni Gramsci menjelaskan bagaimana perusahaan seperti PT Dalihan Natolu Grup menggunakan simbol budaya yang dihormati untuk menciptakan kesan legitimasi.
“Mereka tidak cuma mencuri uang, mereka mencuri kepercayaan,” kata Siregar.
“Dengan menamakan diri memakai nama adat, mereka seolah-olah beroperasi atas nama budaya, padahal mereka sedang mengkhianatinya.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bubarkan PT Dalihan Natolu Group, Adili Secara Adat
Siregar mendukung langkah hukum KPK, namun menilai proses pengadilan formal tidak cukup.
Dia menyerukan Pengadilan adat untuk pelaku, di hadapan majelis budaya Batak, Restitusi simbolik dan ekonomi ke masyarakat, Pelarangan pelaku memegang posisi kehormatan adat, dan Pembubaran PT Dalihan Natolu Grup yang telah mencemari nama suci adat Batak.
Lebih lanjut, ia mengusulkan pengawasan publik atas proyek infrastruktur berbasis prinsip Dalihan Na Tolu, bukan sekadar lembaga pengawas teknokratis.
Indonesia dan Ancaman “Neraka Kultural”
Kasus ini, menurut Siregar, bukan hanya urusan Sumatera Utara. Simbol-simbol budaya yang diperalat untuk membungkus praktik elite, terjadi di berbagai penjuru nusantara.
“Jika simbol adat bisa dipakai untuk menipu rakyatnya sendiri, Indonesia sedang menuju neraka kultural. Bukan karena miskin, tapi karena nilai-nilainya dirampok,” kata Siregar.
Dia menutup wawancara dengan satu seruan keras:
“Budaya bukan nostalgia. Budaya adalah alat membentengi rakyat dari kehancuran moral. Kalau kita kehilangan itu, maka modernisasi hanya akan melahirkan masyarakat tanpa jiwa.”
Penulis : Muchlis
Halaman : 1 2