Scroll untuk baca artikel
Politik

SPLIT CHOICE PADA PILKADA SERENTAK 2024

×

SPLIT CHOICE PADA PILKADA SERENTAK 2024

Sebarkan artikel ini
Prabowo
Fuad Ginting. Foto: Dok Pribadi

Rekam jejak kedua tokoh calon gubernur Sumut tersebut menjadikan kontestasi Pilgubsu 2024 ini tidak banyak mengambil perhatian masyarakat jika dibandingkan dengan persaingan Eramas vs Djoss di pilgubsu 2018 yang lalu. Masyarakat memiliki persepsi bahwa hasil Pilgubsu 2024 nanti tidak menjadi suatu masalah berarti.

Dengan demikian pilihan pada Pilgubsu akan asimetris dengan pilihan Pilbup/ Pilwalkot nanti. Pertimbangan memilih masyarakat pada Pilgubsu nanti tidaklah bergantung pada siapa yang mereka pilih di pilkada bupati/ wali kotanya, meski berasal dari kader partai atau koalisi partai yang sama.

Budaya politik masyarakat kita pada pilkada lebih mempertimbangkan ketokohan calon kepala daerah daripada partai-partai apa saja yang berada dikoalisi pengusungnya. Jadi sangat mungkin terjadi misalnya, pada Pilbup/Pilwalkot seseorang memilih cakada yang diusung PDIP, tetapi di Pilgubsu ia memilih cagubsu yang diusung Gerindra dan sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan split choice atau bisa juga disebut pilihan asimetris.

Akan menjadi aneh memang jika ada calon gubernur Sumatera Utara meng-‘endorse’ (mendukung) calon bupati atau calon wali kota. Dengan kondisi politik seperti disebutkan diatas, justru calon gubernur lah yang lebih butuh endorsement dari calon bupati dan calon wali kota yang ada di seluruh Sumatera Utara, bukan sebaliknya. Karena jelas calon bupati dan calon wali kota lah yang memiliki pemilih pasti.

Namun memang tidak bisa dipungkiri ada beberapa pasangan calon calon bupati/ wali kota yang inferior dan butuh backup-an dari kekuatan politik yang lebih besar. Dalam konteks Sumut, Bobby Nasution sebagai menantu Jokowi dan saat ini berada di partai Gerindra memunculkan persepsi publik; siapa paslon cakada yang berada di ‘circle’ Bobby akan mendapatkan keuntungan-keuntungan politis dalam pertarungan elektoral ini.

Begitulah terjadinya split choice di pilkada kedepan, hal ini terjadi karena lemahnya kelembagaan partai politik yang tidak mampu mendisiplinkan kader yang maju sebagai cakada dan juga ketidakmampuan partai politik menghegemoni simpatisan untuk mengikuti arahan partainya.

Kondisi ini juga adalah akibat terbentuknya koalisi-koalisi pengusung calon kepala daerah tidak lagi mengindahkan fatsun dan nilai ideologis partai politik, koalisi dibentuk dengan pertimbangan keuntungan elektoral dan tak lebih dari transaksi jual beli perahu saja.

Ini membuat kader dan simpatisan menjadi kehilangan arah dalam membaca situasi politik yang sedang terjadi, apalagi kader dan simpatisan di akar rumput tidak mendapatkan benefit dari manuver elit partai politik dalam penentuan calon kepala daerah.

Saking lemahnya kelembagaan partai politik sekarang, beberapa partai hanya berfungsi untuk syarat administratif calon kepala daerah mendaftar ke KPU, setelah itu calon kepala daerah yang bekerja sendiri sampai terpilih. Jelas saja kemudian partai politik tidak lagi menjadi salah satu pertimbangan masyarakat memilih calon kepala daerahnya.