Sementara calon gubernur lainnya adalah Bobby Nasution, popularitasnya di masyarakat Sumatera Utara berimbang dengan Edy Rahmayadi, statusnya sebagai menantu (mantan) presiden Jokowi signifikan dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya pada pilkada kota Medan tahun 2020 yang lalu.
Namun prestasi kepemimpinannya sebagai Wali Kota Medan tidaklah cemerlang dan dapat dibanggakan, banyak kritik terhadap proyek-proyek pembangunan yang dilakukan Bobby di kota Medan yang dianggap mubazir dan asal jadi.
Rekam jejak kinerja itu kemudian ditambahi lagi dengan beban politik bahwa ia meninggalkan PDIP -partai yang menampungnya dulu saat maju menjadi Wali kota Medan- dan sekarang melompat menjadi kader partai Gerindra. Dengan kata lain Bobby Nasution tidak lepas dari dinamika politik yang terjadi di pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rekam jejak kedua tokoh calon gubernur Sumut tersebut menjadikan kontestasi Pilgubsu 2024 ini tidak banyak mengambil perhatian masyarakat jika dibandingkan dengan persaingan Eramas vs Djoss di pilgubsu 2018 yang lalu. Masyarakat memiliki persepsi bahwa hasil Pilgubsu 2024 nanti tidak menjadi suatu masalah berarti.
Dengan demikian pilihan pada Pilgubsu akan asimetris dengan pilihan Pilbup/ Pilwalkot nanti. Pertimbangan memilih masyarakat pada Pilgubsu nanti tidaklah bergantung pada siapa yang mereka pilih di pilkada bupati/ wali kotanya, meski berasal dari kader partai atau koalisi partai yang sama.
Budaya politik masyarakat kita pada pilkada lebih mempertimbangkan ketokohan calon kepala daerah daripada partai-partai apa saja yang berada dikoalisi pengusungnya. Jadi sangat mungkin terjadi misalnya, pada Pilbup/Pilwalkot seseorang memilih cakada yang diusung PDIP, tetapi di Pilgubsu ia memilih cagubsu yang diusung Gerindra dan sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan split choice atau bisa juga disebut pilihan asimetris.
Editor : Damai Mendrofa
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya