Namun pernyataan tersebut tidak sepenuhnya menjawab kekhawatiran publik. Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid bahkan memilih untuk tidak memberikan penjelasan rinci, dengan alasan akan membicarakan lebih lanjut dengan pihak terkait.
Ketidakjelasan ini justru memperkuat keraguan masyarakat tentang sejauh mana perlindungan data pribadi warga benar-benar dijamin oleh pemerintah.
Risiko Transfer Data Pribadi ke Negara Asing
1. Penyalahgunaan Data
Ketika data pribadi berada di tangan perusahaan atau entitas asing, data tersebut rentan terhadap penyalahgunaan. Mulai dari pemantauan tidak sah, penyusunan profil untuk kepentingan komersial, hingga penggunaan dalam manipulasi politik dan ekonomi, semuanya menjadi ancaman nyata.
2. Pelanggaran Privasi
Standar perlindungan data di Amerika Serikat sangat bervariasi antar negara bagian dan belum ada regulasi federal yang benar-benar kuat. Hal ini menciptakan celah hukum yang memungkinkan data pribadi warga Indonesia diakses dan digunakan tanpa persetujuan mereka, yang bertentangan dengan prinsip transparansi dan kontrol individu atas datanya.
3. Kedaulatan Digital yang Melemah
Dengan menyerahkan pengelolaan data kepada pihak luar, kedaulatan digital Indonesia terganggu. Negara kehilangan kendali atas data yang strategis dan sensitif. Ini berarti, keputusan penting yang menyangkut data warga bisa dipengaruhi atau bahkan dikendalikan oleh negara asing.
4. Ketimpangan Ekonomi Digital
Perusahaan asing yang memperoleh akses data warga Indonesia bisa memanfaatkannya untuk menciptakan model bisnis yang sangat menguntungkan, sementara perusahaan lokal hanya menjadi penonton. Ketimpangan ini bisa menghambat perkembangan industri teknologi lokal, karena mereka tidak memiliki akses data yang sama luasnya.
5. Potensi Ketegangan Geopolitik
Arus data lintas negara juga bisa menimbulkan ketegangan diplomatik, terutama jika data yang dipindahkan dianggap sensitif oleh negara asal. Dalam konteks global yang semakin kompetitif, data adalah aset strategis, bukan sekadar informasi.
Tarif Resiprokal 19 Persen: Apa Hubungannya dengan Data Pribadi?
Kesepakatan ini disebut sebagai bagian dari penetapan tarif resiprokal sebesar 19% untuk produk Indonesia di AS. Sebagai bagian dari konsesi, AS diberi akses terhadap pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa data pribadi kini telah menjadi komoditas yang diperdagangkan, sesuatu yang sangat mengkhawatirkan jika tidak dibarengi dengan kerangka hukum yang kuat dan pengawasan independen.
Mengapa Perlindungan Data Menjadi Isu Global?
Di era digital, data pribadi adalah mata uang baru. Negara-negara di dunia berlomba-lomba menyusun undang-undang perlindungan data untuk melindungi warganya. Uni Eropa dengan GDPR (General Data Protection Regulation) menjadi salah satu contoh terbaik regulasi ketat yang mengatur transfer data lintas negara.
Sayangnya, Indonesia baru saja memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang masih dalam tahap implementasi. Bila transfer data ke luar negeri dilakukan sebelum UU ini sepenuhnya berjalan, maka risiko pelanggaran privasi meningkat tajam.
Langkah yang Harus Diambil Pemerintah Indonesia
Untuk memastikan bahwa kepentingan nasional tidak dikorbankan dalam kesepakatan ini, pemerintah perlu segera:
-
Merevisi dan memperkuat UU PDP, termasuk klausul tegas tentang transfer data lintas negara.
-
Mewajibkan audit independen terhadap semua perusahaan asing yang mengelola data warga Indonesia.
-
Meningkatkan transparansi kesepakatan, termasuk membuka dokumen kesepakatan untuk publik.
-
Membangun pusat data nasional yang dapat menjadi tempat penyimpanan utama data warga, dengan kontrol penuh dari otoritas lokal.
-
Mendorong diplomasi digital yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga menjamin perlindungan hak-hak digital masyarakat Indonesia.
Kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat memang menawarkan potensi besar dalam membuka pasar dan memperluas kerja sama digital.
Namun, jika perlindungan data pribadi dikorbankan, maka keuntungan jangka pendek bisa berubah menjadi kerugian jangka panjang.
Pemerintah harus berhati-hati agar kedaulatan digital tidak tergadaikan.
Rakyat Indonesia berhak mengetahui dan memahami sejauh mana data mereka dikelola, digunakan, dan dilindungi oleh pihak asing.
Kesepakatan ini harus ditinjau ulang dengan perspektif keamanan nasional, perlindungan konsumen, dan keadilan ekonomi digital.
Artikel ini disusun berdasarkan rangkuman dari berbagai sumber media terpercaya dan didukung teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Informasi akan terus diperbarui sesuai perkembangan penyidikan.








