Topikseru.com – Di ruang kelas Amerika Serikat, Jepang, hingga Swedia, Chromebook menjadi pemandangan umum. Laptop ramping ini meluncur cepat, aman, dan terhubung ke internet dalam hitungan detik. Ia dipuji sebagai simbol efisiensi pendidikan digital.
Namun, di Indonesia, cerita serupa masih terdengar seperti fiksi. Alih-alih menjadi solusi pembelajaran murah, Chromebook justru menghadapi tantangan serius.
Murah di pasar global tidak selalu berarti cocok di negara berkembang, terutama di wilayah dengan infrastruktur digital yang belum merata.
Bergantung pada Internet, Kelemahan Fatal Chromebook
Secara desain, Chromebook bukanlah laptop biasa. Ia merupakan “terminal” menuju internet – aplikasi berbasis cloud, penyimpanan daring, dan sistem operasi ringan yang hampir seluruhnya membutuhkan koneksi stabil.
Masalah muncul ketika perangkat ini dipaksakan masuk ke ruang kelas di Indonesia. Data Center of Economics and Law Studies (CELIOS) menunjukkan betapa timpangnya akses internet nasional. Pada 2021, hanya sekitar 17–20 desa di Maluku dan Papua yang memiliki akses internet berkualitas baik.
“Untuk provinsi Papua, Maluku, dan Indonesia Timur, pemanfaatan internet masih di bawah 10 persen. Bandingkan dengan Yogyakarta dan Jakarta yang sudah 37–45 persen,” kata Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda.
Jika pelaku usaha saja kesulitan memanfaatkan internet, bagaimana mungkin siswa di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) bisa mengandalkan laptop yang 90 persen fungsinya berbasis online?
Kualitas Koneksi, Drama Sehari-hari
Persoalan bukan sekadar ada atau tidaknya internet, melainkan kualitas koneksi. Aries Setiadi, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), menuturkan bahwa masyarakat sering kali enggan menggunakan layanan digital akibat jaringan yang lambat dan tidak stabil.
Dalam kondisi seperti ini, penggunaan Chromebook berpotensi menambah frustrasi. Alih-alih mempercepat digitalisasi pendidikan, perangkat ini justru memperlihatkan jurang antara siswa di kota besar dan mereka di daerah pinggiran.
Ilusi Harga ‘Murah’
Argumen utama Chromebook adalah harganya yang murah: USD100–USD200 atau Rp1,5–Rp3 juta per unit. Namun, di Indonesia, angka itu setara gaji sebulan penuh bagi sebagian besar keluarga.
Ketika dana terbatas terkumpul untuk membeli komputer, pilihan logis jatuh pada laptop Windows kelas pemula atau perangkat bekas.
Meski lebih lambat, laptop tersebut bisa menyimpan materi belajar secara lokal, memasang berbagai aplikasi, dan tetap berfungsi meskipun tanpa internet.
Chromebook, sebaliknya, menawarkan harga rendah tetapi dengan syarat: ekosistem internet yang stabil, daya beli masyarakat yang kuat, dan dukungan teknis memadai—tiga hal yang belum sepenuhnya tersedia di Indonesia.
Simbol Ketidaksetaraan Digital
Pada akhirnya, Chromebook memang efektif di negara dengan infrastruktur digital matang. Tetapi di Indonesia, tanpa perbaikan fundamental konektivitas, ia berisiko menjadi simbol baru ketidaksetaraan.
Ibarat memberikan mobil balap kepada seseorang yang tidak memiliki jalan raya, memaksakan penggunaan Chromebook di ruang kelas justru bisa membuat siswa dari daerah 3T semakin tertinggal dari arus digitalisasi.
Fakta Kasus Chromebook yang Menyeret Nadiem Makarim













