Death Cross Sejak 2024
Puncak kekhawatiran lahir ketika MA 50-hari Bitcoin memotong MA 200-hari dari atas pada Minggu lalu, membentuk pola death cross, yang dikenal luas sebagai sinyal pelemahan lanjutan.
Analis Mister Crypto mengingatkan bahwa pola ini tak pernah gagal menandai akhir siklus bullish Bitcoin.
“Setiap siklus Bitcoin berakhir dengan death cross. Mengapa kali ini berbeda?” ujarnya.
Sejarah mendukung pandangan tersebut, pada Januari 2022 death cross diikuti penurunan BTC 64%, jeblok ke US$ 15.500 saat FTX runtuh, pada Maret 2018 dan September 2014 harga Bitcoin ambles 67% dan 71% setelah pola serupa terbentuk.
Indikator SuperTrend di grafik mingguan juga mengeluarkan sinyal bearish, kombinasi yang biasanya menjadi awal pasar bear.
Tekanan jual makin menjadi-jadi. Berdasarkan data Glassnode, kerugian terealisasi Bitcoin menembus US$ 800 juta dalam basis tujuh hari, tertinggi sejak kejatuhan FTX pada 2022.
“Sebagian besar aksi kapitulasinya dilakukan oleh holder jangka pendek,” tulis Glassnode.
Mereka menilai tingginya volume kerugian ini menunjukkan hilangnya permintaan marginal, di mana pembeli baru melepas aset secara panik saat harga jatuh.
Analis CryptoQuant IT Tech menambahkan, tekanan jual jangka pendek biasanya dapat menghasilkan ‘local bottom’ jika harga mampu kembali naik dengan cepat.
“Jika gagal, sejarah menunjukkan tren bear yang lebih dalam akan menyusul,” ujarnya.
Dengan banyak investor ritel melakukan panic selling, sejumlah analis memperkirakan koreksi Bitcoin dapat berlanjut menuju level bawah April 2025 di US$ 74.500.
Situasi pasar saat ini mengingatkan pada fase awal bear market di siklus-siklus sebelumnya, ketika sinyal teknikal bearish berbaris satu per satu.












