Scroll untuk baca artikel
Daerah

Pengungsi Viral Kenakan Jilbab karena Minim Pakaian Pria, Warga Langsung Mengadu ke Gubernur Sumut

×

Pengungsi Viral Kenakan Jilbab karena Minim Pakaian Pria, Warga Langsung Mengadu ke Gubernur Sumut

Sebarkan artikel ini
Bantuan pakaian pria
Bantuan pakaian pria krisis di posko pengungsian karena banyak sumbangan pakaian wanita. (Instagram/xyz1237252024)

Data Terkini Korban Banjir Bandang dan Longsor di Sumatera

Berdasarkan laporan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Rabu, 10 Desember 2025, jumlah korban banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Sumatera menunjukkan peningkatan signifikan seiring proses evakuasi dan identifikasi yang terus berlangsung.

Situasi darurat ini menggambarkan betapa besar dampak bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir.

Data terbaru mencatat total 969 korban meninggal dunia, yang tersebar di tiga provinsi terdampak utama. Aceh menjadi wilayah dengan jumlah korban tertinggi, mencapai 391 jiwa, disusul 340 jiwa dari Sumatera Utara, dan 238 jiwa dari Sumatera Barat.

Angka ini diperkirakan masih dapat bertambah mengingat masih banyak area yang sulit dijangkau akibat akses jalan tertutup longsor serta kondisi cuaca yang belum stabil.

Selain korban meninggal, tercatat 252 orang masih dinyatakan hilang. Tim SAR gabungan, relawan lokal, hingga aparat TNI–Polri terus melakukan pencarian tanpa henti di berbagai titik rawan, termasuk area aliran sungai, perbukitan, serta puing-puing material longsor.

Sumatera Utara menjadi daerah dengan laporan korban hilang terbanyak, yakni 138 orang. Disusul Sumatera Barat dengan 93 orang, dan Aceh dengan 31 orang yang hingga kini belum ditemukan.

Sementara itu, kerusakan infrastruktur dan permukiman warga juga mencapai skala yang sangat besar. BNPB melaporkan ada lebih dari 158 ribu unit rumah yang terdampak, mencakup kategori rumah hanyut terbawa arus, rusak berat akibat longsoran material, rusak sedang lantaran terendam hingga atap, maupun rusak ringan karena terjangan banjir.

Puluhan kabupaten/kota terdampak, mencapai total 52 wilayah administrasi, menjadikan bencana ini salah satu yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir di Sumatera.

Wilayah yang mengalami kerusakan parah umumnya berada di sepanjang bantaran sungai yang meluap, daerah perbukitan rawan longsor, serta permukiman dataran rendah yang menerima limpahan air dari wilayah lebih tinggi.

Banyak rumah di daerah ini tersapu bersih, menyisakan hanya fondasi atau puing, membuat ribuan keluarga kini kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi ke posko-posko sementara.

Dampak bencana ini tidak hanya melibatkan aspek fisik, tetapi juga kondisi psikologis masyarakat yang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan anggota keluarga.

Pemerintah daerah, relawan kemanusiaan, dan berbagai organisasi terus mengupayakan penyaluran bantuan secara merata, sementara masyarakat di pengungsian masih menunggu evakuasi lanjutan dan pembaruan informasi terkait keluarga mereka yang belum ditemukan.

Ancaman Penyakit Pascabanjir: Kasus ISPA dan Penyakit Kulit Meningkat

Selain kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi dalam kondisi darurat, para penyintas banjir bandang dan longsor kini menghadapi ancaman kesehatan yang tidak kalah serius.

Situasi di sejumlah titik pengungsian menunjukkan peningkatan kasus penyakit yang cukup mengkhawatirkan, terutama yang berkaitan dengan kondisi lingkungan pascabencana.

Dinas Kesehatan Sumatera Utara melaporkan bahwa hingga Kamis, 11 Desember 2025, ribuan warga di posko darurat mulai mengalami gangguan kesehatan.

Baca Juga  Bobby Lovers: Kemenangan Bobby- Surya Tepat Bagi Pantai Barat

Data terbaru mencatat sekitar enam ribu kasus penyakit kulit dan lima ribu kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Lonjakan ini tidak terlepas dari kondisi pengungsian yang serba terbatas, di mana ribuan orang harus tinggal berdesakan dalam tenda sementara yang jauh dari standar sanitasi ideal.

Penyakit kulit menjadi salah satu keluhan yang paling banyak ditemukan.

Air banjir yang tercemar, ditambah cuaca lembap dan minimnya fasilitas air bersih, membuat kulit para pengungsi rentan mengalami iritasi, infeksi jamur, dan reaksi alergi.

Sisa lumpur yang menempel di tubuh juga sulit dibersihkan secara optimal, semakin meningkatkan risiko peradangan dan infeksi.

ISPA juga mengalami peningkatan cukup drastis. Penyebab utamanya adalah kondisi tempat pengungsian yang padat, ventilasi yang buruk, serta suhu malam hari yang lembap dan dingin.

Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan, mengingat daya tahan tubuh mereka yang lebih lemah. Debu dari reruntuhan material bangunan serta asap dari dapur darurat yang tidak terkelola dengan baik juga memperburuk kualitas udara di sekitar posko.

Selain itu, tumpukan sampah sisa banjir yang belum terangkut turut memicu penyebaran bibit penyakit.

Kondisi ini memberikan ruang berkembang bagi bakteri, serangga, hingga hewan pembawa penyakit seperti lalat dan tikus.

Minimnya akses air bersih untuk mandi dan mencuci pakaian membuat pengungsi semakin kesulitan menjaga kebersihan diri, sehingga penyakit menular dapat menyebar lebih cepat.

Tim medis dari berbagai instansi telah mendirikan sejumlah pos pelayanan kesehatan di titik-titik pengungsian. Mereka menyediakan layanan pemeriksaan, obat-obatan dasar, hingga edukasi kesehatan untuk mencegah penularan penyakit lebih luas.

Namun, jumlah tenaga kesehatan yang bertugas masih sangat terbatas dibandingkan jumlah pengungsi yang membutuhkan penanganan. Stok obat-obatan juga mulai menipis, menyebabkan beberapa penyakit hanya bisa ditangani secara simptomatik sementara menunggu suplai tambahan.

Kondisi lingkungan yang belum sepenuhnya pulih, ditambah keterbatasan fasilitas kesehatan di lokasi pengungsian, membuat ancaman penyakit pascabencana ini perlu mendapatkan perhatian serius. Upaya jangka pendek seperti pendistribusian air bersih, peningkatan sanitasi, penyemprotan disinfektan, serta penambahan tenaga medis dan obat-obatan sangat dibutuhkan agar situasi kesehatan tidak semakin memburuk.

Kondisi Pengungsian: Bertahan dengan Segala Keterbatasan

Di beberapa wilayah terdampak, pengungsi terpaksa menggunakan fasilitas seadanya. Banyak keluarga harus berbagi alas tidur tipis dan menahan dingin malam yang menusuk. Sementara itu, anak-anak rentan mengalami gangguan kesehatan karena lingkungan pengungsian yang tidak ideal.

Ketersediaan makanan juga menjadi perhatian. Meski bantuan berdatangan, jumlah pengungsi yang sangat besar membuat stok cepat habis. Relawan mengatur distribusi makanan siap saji dan dapur umum untuk memastikan semua warga mendapatkan pasokan harian yang cukup.

Gangguan listrik di sebagian besar wilayah terdampak juga menyebabkan pengungsian gelap gulita pada malam hari. Lampu portabel dan penerangan darurat menjadi kebutuhan mendesak yang terus dipasok para relawan. (*)