“Mereka (pukat trawl) ini biasanya berangkat malam, dengan jumlah anak buah kapal (ABK) sebanyak 12-15 orang sesuai dengan jenis kapal,” ungkap PZ.
“Kalau jenis kapal Nissan, jumlah ABK bisa 12-15 orang dengan muatan 30 sampai 50 ton. Sedangkan kalau jenis kapal Fuso, jumlah ABK 8 orang dengan muatan 20 sampai 30 ton,” bebernya.
Dia mengungkapkan selain pukat trawl, beberapa kapal kecil sering hilir mudik dari darat ke pukat trawl, yang berfungsi untuk menjemput hasil tangkapan ikan, sehingga ‘pukat harimau’ itu tetap berapa di tengah laut.
“Pukat ini jarang berlabuh dan bekerja penuh setiap hari menguras hasil laut kecuali ada kerusakan,” kata dia.
Pukat Tetap Beroperasi Masa Menteri Susi Pudjiastuti
PZ mengatakan semasa Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat oleh Susi Pudjiastuti, yang saat itu fokus menindak tegas pencuri ikan dan alat tangkap ilegal di perairan Indonesia, pukat trawl tetap beroperasi di perairan Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah.
Di mengatakan setidaknya ada 30-35 pukat trawl beroperasi di perairan Pantai Barat Sumatera Utara itu.
“Nggak ada yang melaporkan karena pada masa itu pemerintah Sibolga-Tapteng nggak ada yang bisa melawan, sehingga informasi tidak sampai, bila Ibu Susi mengetahui pasti ditenggelamkan,” kata PZ mengenang.
“Kapal pukat trawl ini terus beroperasi sampai sekarang. Mereka terus mengeruk dasar laut di sekitar Pulau Mursala, Pulau Situngkus dan di belakang Pulau Poncan,” imbuhnya.
Berharap Hukum Mampu Tegak di Perairan Pantai Barat
PZ dan sejumlah nelayan tradisional lain di Sibolga-Tapteng hanya bisa berharap ada upaya tegas dari pemerintahan yang baru untuk menyelamatkan keberlangsungan ekosistem laut di Pantai Barat Sumut.
Menurutnya, secara regulasi aturan penggunaan alat tangkap pukat trawl karena sifatnya yang merusak ekosistem laut.
Dia mengatakan sesuai Undang-Undang (UU) Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 85 mengatur tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak keberlanjutan sumber daya ikan.
“Dalam undang-undang saja sudah jelas dilarang. Yang menjadi pertanyaan dimana dinas terkait yang bertugas menjaga Sumber Daya Kelautan di Sibolga-Tapteng ini,” kata pria tekong kapal ini.
PZ bahkan mendapat berbagai informasi bahwa pemilik dari pukat penghancur ekosistem laut di Pantai Barat Sumut ini diduga merupakan para petinggi dan oknum pejabat serta pengusaha besar yang punya koneksi di Sibolga-Tapteng.
“Harapan kami, kiranya pemerintah pusat dapat melihat hal ini, kami nelayan kecil dan tradisional ini tertindas,” kata PZ.
“Kami butuh makan, butuh membiayai sekolah anak-anak kami,” pungkasnya.












