Topikseru.com – Aplikasi Open BO kian marak dibicarakan, terutama di kalangan generasi muda. Bagi sebagian orang, istilah “Open BO” atau Booking Order sudah menjadi rahasia umum untuk memfasilitasi transaksi prostitusi online.
Sekilas, aplikasi Open BO terlihat ‘praktis’ bagi yang terjerat kebutuhan ekonomi atau sekadar mengejar sensasi. Namun, di balik layar, risiko hukumnya mengintai – tak jarang berakhir penjara.
Lantas, apa sebenarnya risiko menggunakan aplikasi Open BO?
Mengapa praktik ini bisa menyeret pengguna maupun penyedia jasa ke pusaran hukum dan jeratan pidana? Berikut penjelasannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Jerat UU ITE dan Prostitusi Online
Menggunakan aplikasi Open BO untuk prostitusi daring jelas melanggar hukum di Indonesia. Praktik ini diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE, yang melarang distribusi atau transaksi muatan yang melanggar kesusilaan.
Tak main-main, pelaku bisa diancam pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Selain UU ITE, praktik Open BO juga bisa dijerat Pasal 296 KUHP tentang mucikari atau perbuatan mempermudah perbuatan cabul. Jika transaksi dilakukan melalui aplikasi, pengguna, penyedia layanan, hingga pihak ketiga (admin) sama-sama bisa terjerat.
2. Pemerasan dan Penipuan Berkedok Open BO
Risiko Open BO tak hanya soal pidana. Banyak kasus penipuan berkedok Open BO yang memeras korban secara mental dan finansial. Modusnya beragam: dari ‘penyedia jasa’ fiktif yang kabur usai ditransfer, hingga jebakan oknum yang memeras dengan ancaman penyebaran identitas korban.
Bahkan, beberapa kasus terungkap melibatkan sindikat kejahatan siber lintas provinsi yang memancing korban lewat aplikasi chat populer dan media sosial.
3. Perdagangan Manusia: Dari Open BO ke TPPO
Praktik Open BO seringkali menjadi pintu masuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Banyak korban rekrutmen Open BO ternyata dipekerjakan secara paksa oleh mucikari daring. Beberapa kasus juga melibatkan anak di bawah umur – dan inilah yang membuat hukuman makin berat.
UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO mengancam pelaku dengan pidana hingga 15 tahun penjara. Jadi, tak hanya pengguna, perekrut dan penyedia aplikasi pun bisa dijerat pasal berlapis.
4. Risiko Sosial: Rekam Jejak Digital Tak Pernah Hilang
Satu hal yang sering diabaikan pengguna aplikasi Open BO adalah rekam jejak digital. Foto, percakapan, hingga bukti transfer bisa saja tersimpan, dibocorkan, bahkan diperjualbelikan. Beberapa korban pemerasan mengaku diancam foto pribadinya disebar ke keluarga atau kantor.
Alih-alih ‘transaksi selesai’, reputasi dan psikologis korban bisa hancur hanya karena sekali klik.
5. Bahaya Penyakit Menular
Selain jerat hukum, risiko medis pun mengintai. Aktivitas prostitusi, apalagi tanpa kontrol kesehatan, rentan menyebarkan penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS, sifilis, hingga gonore. Sayangnya, transaksi Open BO jarang disertai pemeriksaan kesehatan rutin.
Di era digital, transaksi gelap tak lagi terjadi di lorong remang-remang. Modus prostitusi kini bergeser ke ruang privat: aplikasi chat populer yang disulap menjadi ladang Open BO (Booking Order).
Halaman : 1 2 Selanjutnya