“Dia (Karno) dikeluarkan malam setelah sholat isa, lalu mereka bertemu berempat. Sukarno bertanya kepada Karno mengapa dimasukkan ke penjara, Karno menjawab karena ia menolak permintaan tentara belanda untuk meracuni Sukarno. Dan disitulah Soekarno bertanya, mengapa kamu tolak, Karno menjawab karena bapak adalah pemimpin saya, disitu mereka menangis, dan Sukarno memeluk Karno,” urai Izam.
Usai pembicaraan itu, Sukarno pun menyampaikan amanahnya. Agar jika mereka bertiga meninggal di tanah Karo, amanah itu disampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Amanah itu, yakni agar menjalankan perintah dan amanah Allah, agar jangan mengambil hak orang lain.
“Kalau itu bukan milik kita sendiri, karena kemerdekaan bangsa Indonesia itu bukan karena harta, tapi karena berkat rahmat dan hidayah allah dan itu sudah dicantumkan dalam UUD 1945. Dari kejujuran Karno Subiran inilah, Soekarno bisa berkomunikasi kembali kepada gerilyawan dan TNI,” imbuh Izam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sana, gerilyawan dan TNI menyusun rencana merebut Sukarno pada Januari 1949, tapi rencana itu diketahui tentara Belanda, Sukarno pun dipindahkan ke Parapat pada 4 Januari 1949.
“Dan di rumah inilah Sukarno ditempatkan selama 2 bulan bersama kedua tokoh. Selama dua bulan aktifitas Sukarno, Sutan Sjahrir dan KH Agus Salim dikawal ketat oleh tentara Belanda, tetapi setelah satu bulan, disitulah baru bisa berkomunikasi dengan gerilyawan Indonesia dengan tiga pelayan,” pungkas Izam.
Kisah Tulang Ayam dan Sayur Kangkung
Tiga pelayan menjadi pekerja di rumah dimana Sukarno, Sutan Sjahrir dan KH Agus Salim diasingkan di Parapat. Yakni Luddin Tindaon yang bertugas di dalam rumah, di luar rumah ada Bukka Sinaga dan sebagai petugas memasak yakni Hayat.
Izam yang mulai bertugas sejak 2013 di pesanggarahan itu menyebut, dari ketiga orang pekerja tersebutlah Sukarno akhirnya berhasil berkomunikasi dengan para gerilyawan. Sukarno memanfaatkan makanan yang ada, yakni tulang ayam dan sayur kangkung.
Setiap kali makan, Sukarno meminta agar Luddin Tindaon membawakannya daging paha ayam. Selesai makan, sisa tulang ayam ia bersihkan dan keringkan. Di tulang tersebutlah, ia menyisipkan surat untuk dibawa kepada para gerilyawan.
Begitu juga ketika Sukarno jalan-jalan di luar rumah. Ia meminta agar dibawakan sayur kangkung. Dari batang kangkung tersebutlah ia menyisipkan surat untuk para pejuang.
“Dan disampaikan ke Bukka Sinaga, bahwa dari batang kangkung itu ada isinya surat. Itulah cara beliau berkomunikasi dengan gerilyawan di sini,” ucap Izam.
Pasukan Siliwangi Hendak Rebut Sukarno
Hasil dari komunikasi antara para Sukarno dan pejuang, diutuslah pasukan Siliwangi untuk merebut Sukarno dan kedua tokoh bangsa pada Maret 1949. Pasukan pun mengepung Parapat baik dari darat dan danau. Namun Sutan Sjahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri membatalkan penyerangan. Menyusul rencana pemindahan Sukarno ke Bangka.
“Kata Sutan Sjahrir, jangan bergerak dulu, karena kami mau dibawa pindah ke Bangka, akhirnya Sukarno dan kedua tokoh dibawa pindah, dan disitulah dijumpakan lagi dengan Hatta di Bunto. Beberapa bulan disana, barulah terjadi konferensi meja bundar di Denhag. Dari Indonesia diutus Bung Hatta dan dari Belanda Ratu Belanda, barulah disitu Belanda mengakui kedaulatan Indonesia,” pungkas Izam.
Arsitektur Pesanggrahan yang Unik dan Antik
Rumah bergaya eropa yang menjadi tempat pengasihan Sukarno masih cukup terawat. Izam menyebut, untuk komponen bangunan rumah, 90 persen masih terjaga.
“Kecuali di bagian luar yang dikeramik, di samping juga. Kalau meubel di dalam terdiri dari kayu Jati dan kayu Ulin,” kata Izam.
Rumah tersebut merupakan bangunan panggung. Kolong rumah sebagai tempat sirkulasi udara untuk mempertahankan suasana sejuk di dalam rumah. Kolong itu tidak tertutup sepenuhnya. Terdapat lobang berbentuk kotak dan tertutup kawat.
Di bagian luar rumah terdapat 2 gajebo berukuran 4×4 meter. Satu di sisi kanan depan rumah dan satu lagi di sisi kiri rumah. Bertembok beton setinggi pinggang orang dewasa. Dari kedua gajebo, menyaksikan pemandangan danau yang memukau menjadi pilihan tepat.
Berlantai Dua
Pesanggrahan terdiri dari 2 lantai. Di lantai satu terdapat ruangan tamu berukuran sekitar 6×4 meter. Sementara terdapat tiga kamar di lantai ini. Sebelah kiri, merupakan kamar Sukarno. Di sisi kanan terdapat dua kamar lain, kamar pertama di bagian depan sebagai tempat Sutan Sjahrir dan KH Agus Salim. Sementara kamar bagian belakang sebagai tempat tentara Belanda.
Menuju lantai dua dengan menaiki tangga dari kayu Ulin yang berputar. Di lantai dua terdapat ruangan tempat Sukarno beristirahat. Di ruangan tersebut terdapat satu set kursi dan meja dari Rotan. Sofa tersebut digunakan Sukarno diasingkan.
Di ruangan itu juga terdapat lemari kaca yang telah ada sejak lama. Di dinding ruangan terdapat sejumlah foto yang mengabadikan keberadaan Soekarno, Sutan Sjahrir dan KH Agus Salim.
Terdapat juga satu kamar panjang dengan 3 tempat tidur. Saat pengasingan Sukarno dan kedua tokoh, kamar itu menjadi tempat dokter dan tentara Belanda.
“Semua furniture di ruangan memang sudah diganti semua, tapi peletakannya tetap sama,” ungkap Izam.
Meski banyak furnitur di dalam rumah berukuran 15×20 meter itu sudah berganti, sebagian masih bertahan. Di antaranya kaca-kaca rumah baik di bagian pintu dan jendela. Kemudian lemari dan buffet duduk pada bagian belakang rumah yang masih utuh sampai hari ini. Tidak itu saja, instalasi listrik di rumah tersebut juga masih menggunakan instalasi lama.
Sejumlah sarana tambahan lain juga sudah dibangun. Yakni ruang makan di bagian belakang rumah, berlanjut Musholla dan kamar mandi di sisi kiri belakang rumah, serta kanopi dari tiang besi di kanan rumah.
Penulis : Damai Mendrofa
Editor : Muklis
Halaman : 1 2