Kemenhut menegaskan bahwa tidak ada indikasi pelanggaran hukum dalam distribusi kayu-kayu tersebut.
Asal Kayu dari Kawasan APL dan Sudah Sesuai Regulasi
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa kayu-kayu yang berasal dari area penebangan legal tersebut terdeteksi berasal dari kawasan yang dikelola oleh Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT).
Kawasan ini berada di luar kawasan hutan, tepatnya di Area Penggunaan Lain (APL), yang memang diperuntukkan bagi kegiatan pertanian, perkebunan, atau permukiman—bukan hutan lindung atau hutan produksi.
“Kita deteksi bahwa itu dari PHAT di APL. PHAT adalah pemegang Hak Atas Tanah. Di area penebangan yang kita deteksi dari PHAT itu di APL, memang secara mekanisme untuk kayu-kayu yang tumbuh alami itu mengikuti regulasi kehutanan dalam hal ini adalah SIPU, Sistem Informasi Penataan Hasil Hutan,” terangnya.
Dengan demikian, kayu-kayu tersebut ditebang secara sah dan tunduk pada prosedur administratif yang diatur dalam sistem SIPU. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menerapkan pengawasan ketat terhadap pemanfaatan hasil hutan, bahkan di luar kawasan hutan negara.
Respons Publik dan Kecurigaan Netizen
Meski penjelasan resmi telah disampaikan, respons publik di media sosial justru menunjukkan skeptisisme. Video klarifikasi Kemenhut yang diunggah ulang oleh akun TikTok @offciialinews pada tanggal yang sama telah dilihat lebih dari 40.300 kali dan memicu diskusi hangat di kolom komentar.
Salah satu pengguna, @alfianbznagoya, menuliskan:
“Pohon tumbang tapi tidak ada ranting sama daun-daunnya.”
Komentar senada disampaikan oleh @wildaoktaviani:
“Baru lihat pohon tumbang rapi seperti itu kayak mau ke kondangan.”
Sementara itu, akun @mikmikkoalla menyoroti bentuk fisik kayu yang terlihat terlalu bersih:
“Mata gue gak salah lihat kan, itu kayunya udah dibersihin, udah gak ada bagian luarnya.”
Komentar-komentar ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat akan transparansi pengelolaan sumber daya alam. Mereka mempertanyakan mengapa kayu-kayu yang disebut “tumbang alami” justru tampak telah diproses—tanpa kulit kayu, ranting, atau daun—seperti hasil penebangan terencana.
Pentingnya Transparansi dan Partisipasi Publik
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi data dan komunikasi publik dalam isu lingkungan.
Ketika bencana alam terjadi, masyarakat tidak hanya membutuhkan bantuan cepat tanggap, tetapi juga kepastian bahwa tidak ada pihak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan ilegal.
Kemenhut, sebagai otoritas pengelola sumber daya hutan, dituntut untuk tidak hanya memberikan pernyataan teknis, tetapi juga membuka ruang verifikasi publik.
Misalnya, dengan merilis data geospasial lokasi penebangan, foto dokumen SIPU, atau laporan lapangan yang bisa diakses secara terbuka.
Ke depan, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media akan menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan hutan Indonesia—terutama di tengah ancaman perubahan iklim dan bencana ekologis yang semakin sering terjadi.











