Dampak kebijakan merusak?
Selama ini, katanya, banjir dan longsor kerap mengambinghitamkan curah hujan yang tinggi. Padahal, dari dokumentasi yang bertebaran, terlihat jelas batang-batang kayu besar ikut hanyut. Citra satelit pun menunjukkan kawasan hutan yang gundul di sekitar lokasi bencana.
Kondisi itu menunjukkan tangan-tangan manusia hingga terjadi bencana. Ia bisa berupa keputusan politik, maupun kebijakan atas nama pembangunan dan ekonomi.
Kegagalan negara dalam mengurus lingkungan, katanya, menyebabkan krisis ekologis yang berujung pada bencana ekologis.
“Dalam hal ini pemerintah atau pengambil kebijakan berperan besar atas bencana ekologis yang terjadi saat ini.”
Selama ini, Walhi Sumut terus menyuarakan agar pemerintah memberi perhatian penuh pada ekosistem Batang Toru (Harangan Tapanuli) sebagai hutan tropis terakhir Sumut. Wilayahnya meliputi Kabupaten Taput, Tapsel, dan Tapteng.
Mereka bilang, bencana ekologis di ekosistem ini terjadi karena masifnya perizinan. Deforestasi pun terus terjadi karena aktivitas perusahaan-perusahaan di sana.
“Video-video yang beredar menunjukkan adanya aktivitas penebangan hutan di area sekitar bencana yang juga bagian dari ekosistem Batang Toru.”
Dalam rilis kepada media, Satya Bumi menyebutkan, banjir paling parah terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Meskipun bencana serupa hampir selalu terjadi setiap musim hujan, skala dan dampaknya kali ini merupakan terbesar selama beberapa dekade akibat kerusakan terus berlangsung di Ekosistem Batang Toru.
Lembaga ini berharap proses evakuasi, pencarian korban dan penanganan darurat dapat berjalan lancar dan jadi prioritas pemerintah secara menyeluruh.
Kertas kebijakan Satya Bumi Juli lalu juga menyebut, kawasan Batang Toru ini memiliki fungsi hidrologis, yang seharusnya menjadi pusat konservasi, habitat satwa dilindungi, dan penopang kehidupan masyarakat justru degradasi bertahun-tahun.
Riezcy Cecilia Dewi, Juru Kampanye Satya Bumi, mengatakan, kerusakan hutan di hulu Sungai Batang Toru akibat penebangan masif, pembukaan lahan tanpa pengelolaan berkelanjutan, dan degradasi ekosistem, mengurangi kemampuan alam menyerap dan menahan air hujan.
Kondisi ini berdampak ketika curah hujan ekstrem, air turun dengan sangat cepat dan menyeret potongan kayu dari wilayah hulu ke hilir.
Kondisi ini, katanya, memicu banjir bandang besar yang merusak rumah warga, infrastruktur, serta lahan pertanian.
Banjir bandang tidak bisa semata-mata sebagai peristiwa alam. Ada andil kerusakan lingkungan di hulu yang memperburuk dampak di wilayah hilir. Situasi ini, katanya, memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak untuk melakukan upaya restorasi dan pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan.
Pada banyak video beredar, terlihat aliran sungai sangat deras bersama potongan kayu yang diduga berasal dari hulu Sungai Batang Toru di Harangan Tapanuli.
“Air mengalir dari hulu ke hilir akan membawa dampak lebih parah jika kondisi hutan di bagian hulu telah rusak. Tanah jadi tidak stabil, rawan longsor, dan tak ada lagi pohon yang berfungsi sebagai pengikat tanah,” kata Riezcy.
Satya Bumi sebutkan, ekspansi ekosistem Batang Toru oleh aktivitas tambang emas mulai sejak 1997. Hingga 2022, pengelola tambang Martabe ekspansi sekitar 509 hektar. Luas bertambah pada 2024 menjadi 555,93 hektar.
Tak hanya itu, PLTA Batang Toru yang pembangunan kemungkinan selesai akhir 2025, sebut Satya Bumi, belum mampu menahan debit air ekstrem dari kawasan hulu.
Infrastruktur di tengah bentang alam yang sensitif ini justru berpotensi menambah kerentanan kawasan, terutama ketika kapasitas sungai berubah karena deforestasi dan perubahan tata air di hulu.
Bendungan dan terowongan air yang dirancang untuk kebutuhan energi, katanya, tak otomatis mampu menahan limpasan air dalam volume besar. “Terutama bila curah hujan ekstrem datang bersamaan dengan kondisi hutan yang rusak.”
Belum lagi masih banyak proyek megah berdiri di sekitar lanskap ekosistem Batang Toru, antara lain, pembangkit panas bumi di Tapanuli Utara, perkebunan kayu skala besar, sampai perkebunan sawit.
Satya Bumi, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara, dan Jaringan Advokasi Masyarakat Marjinal (JAMM) menyatakan, kondisi ini harus jadi alarm serius bagi pemerintah daerah maupun nasional.
“Tidak boleh lagi ada pembiaran atas pembukaan lahan baru dan izin yang diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang ketat. Tidak boleh lagi ada kebijakan ekonomi yang mengorbankan masyarakat,” kata mereka dalam siaran pers bersama.












