Selanjutnya, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dokumen pengangkatannya dibuat mundur menjadi tanggal 27 Maret 2020.
Selanjutnya terbit surat pesanan APD dari Kementerian Kesehatan kepada PT PPM sejumlah 5.000.000 set dengan harga satuan 48,4 dolar AS yang ditandatangani Budi Sylvana selaku PPK, Ahmad Taufik selaku Dirut PT PPM dan Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI.
Dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci. Selain itu, surat pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani surat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada tanggal 15 April 2020, Kementerian Kesehatan memberikan surat pemberitahuan kepada direktur PT PPM , bahwa sampai tanggal 15 April 2020 PT PPM telah mengirimkan APD sejumlah 790.000 set dari total 5.000.000 set APD yang sudah dipesan.
Kemudian, pada 7 Mei 2020 terjadi negosiasi ulang harga dengan kesepakatan sebagai berikut:
1. Barang yang dikirim tanggal 27 April hingga 7 Mei 2020 dengan harga Rp366.850 dengan jumlah 503.500 set.
2. Barang yang dikirim setelah tanggal 7 Mei 2020 dengan harga Rp294.000.
3. Bahwa sampai dengan tanggal 18 Mei 2020, Kemenkes telah menerima sebanyak 3.140.200 set APD.
Perbuatan Melawan Hukum
Dalam konstruksi perkara tersebut, terdapat perbuatan hukum diantaranya PT EKI terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK).
Hal tersebut berlawanan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010, bahwa penyalur alat kesehatan wajib memiliki IPAK yang diatur Kemenkes.
Kerja sama antara PT PPM, PT EKI, dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Hal tersebut berlawanan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan pengusaha dilarang secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran sehingga terbentuk monopoli.
PT EKI dan PT PPM tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 huruf E nomor 2 dan 3 terkait harga ditetapkan berdasarkan bukti kewajaran harga yang diberikan oleh penyedia.
PT EKI yang ditetapkan sebagai penyedia APD, padahal tidak mempunyai pengalaman untuk mengadakan APD sebelumnya.
Para tersangka juga melakukan negosiasi ulang terkait pengadaan APD ini pada Mei 2020. Kemenkes diketahui hanya menerima APD sebanyak 3.140.200 set pada 18 Mei 2020.
Audit BPKP menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp319 miliar akibat pengadaan APD dalam perkara ini.
Tiga orang tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Editor : Muchlis
Sumber Berita : Antara
Halaman : 1 2