Keluarga Terisolasi: Bertahan Tanpa Makanan dan Tanpa Pertolongan
Sementara itu, keluarga Erik di Jorong Subarang Aie juga terjebak dan tidak dapat keluar sejak bencana terjadi. Hujan tak berhenti, lumpur setinggi pinggang hingga dada membuat akses tertutup total.
Kondisi semakin kritis ketika persediaan makanan habis.
Namun seorang anggota keluarga bernama Darul, bertubuh kecil namun berhati besar, memutuskan menembus lumpur demi membawa makanan ke lokasi.
“Dia melewati lumpur setinggi dada hanya untuk membawa sedikit bahan makanan,” kata Erik.
Di tengah suasana mencekam itu, terdengar kabar bahwa salah seorang warga menderita luka berat usai dihantam material galodo. Evakuasi dilakukan dengan gotong-royong, melibatkan pemuda dan keluarga.
Butuh waktu berjam-jam untuk membawa korban itu ke lokasi mobil Satbrimob yang menunggu di seberang. Perjuangan dilanjutkan lagi dengan ambulans menuju RSUD Lubuk Basung.
Tragedi ini bukan hanya soal rumah yang hancur. Tapi juga soal warga yang bertahan hidup di tengah keterbatasan, solidaritas yang muncul di saat genting, serta semangat kemanusiaan yang tak bisa dipadamkan.
Pencarian Tak Kunjung Berhasil, Erik Menyewa Alat Berat
Ketika upaya manual tidak memberikan tanda apa pun, Erik mulai mengambil keputusan nekat: menyewa alat berat yang sedang bekerja di lokasi lain.
“Saya nego dengan operatornya. Saya bilang, tolonglah. Saya hanya ingin mencari mama,” ucapnya.
Operator alat berat itu akhirnya setuju.
Pada Sabtu sore, Erik berdiri di samping ekskavator, memberi arahan titik demi titik yang ia curigai sebagai lokasi rumah ibunya sebelum hancur.
Pencarian berlangsung hingga malam, namun belum membuahkan hasil. Gelap membuat aktivitas harus dihentikan.
Tapi Erik kembali ke sana keesokan paginya bersama Basarnas.
Momen Paling Menggetarkan: Ibu Ditemukan Masih Memakai Mukena
Pagi itu, udara lembap bercampur dingin lumpur masih menyelimuti kawasan yang hancur disapu galodo. Sudah dua hari berlalu sejak bencana itu memporakporandakan Palembayan, namun rasa sesak yang menusuk dada Erik belum juga mereda. I
a tiba di lokasi lebih awal dari biasanya, berdiri di antara serpihan rumah yang dulunya penuh kenangan. Hari itu, ia berharap—walau hanya sedikit—bisa menemukan ibunya, walau dalam keadaan apa pun.
Pencarian dimulai kembali. Ekskavator perlahan mengaduk puing-puing rumah yang sudah berubah menjadi gundukan tanah campur kayu, batu, dan seng. Setiap kali bucket ekskavator terangkat, Erik memerhatikan dengan tegang. Setiap suara gesekan besi dengan kayu membuat jantungnya berdebar. Ia berdiri tidak jauh dari alat itu, menatap tanpa berkedip.
Lebih dari tiga jam pencarian berlangsung. Peluh, debu, dan kecemasan bercampur menjadi satu. Hingga pada satu titik—ketika matahari mulai naik sedikit lebih tinggi—seorang anggota Basarnas tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada operator ekskavator.
Ekskavator berhenti. Suasana langsung hening. Tidak ada yang bergerak selama beberapa detik. Seolah waktu menahan napas.
Tim Basarnas perlahan mendekat ke tumpukan puing yang sebelumnya digali. Mereka mulai mengangkat beberapa lembar papan dan potongan atap yang tersisa. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati—seolah mereka tahu bahwa di bawah sana ada sesuatu yang tidak boleh disentuh sembarangan.
Di sela-sela kayu yang berserakan, sesosok tubuh perlahan tampak. Sebuah tubuh perempuan, tertutup tipis oleh tanah dan debu lumpur. Rambutnya sedikit tertutup kain mukena. Mukena berwarna putih yang sudah kusam karena lumpur, namun masih jelas terlihat sebagai pakaian salat.
Erik yang melihat dari kejauhan langsung mendekat, langkahnya limbung. Begitu jarak tinggal beberapa meter, ia sudah tahu siapa yang terbaring itu.
Mulutnya bergetar, matanya memerah. Tubuhnya serasa tidak mampu menahan kenyataan.
“Itu mama… Mama masih pakai mukena…” katanya pecah dalam tangis.
Kalimat itu membuat semua orang di sekitar terdiam. Beberapa relawan yang sebelumnya fokus bekerja, spontan memalingkan wajah untuk mengusap mata masing-masing. Ada kesedihan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata ketika melihat seorang ibu ditemukan dalam keadaan masih mengenakan mukena—pakaian yang digunakan untuk beribadah—pada detik-detik terakhir hidupnya.
Menurut keterangan keluarga, Ernita memang tengah melaksanakan salat ketika galodo tiba-tiba menerjang rumahnya.
Tubuhnya ditemukan utuh. Tidak ada luka robek. Tidak ada bagian tubuh yang terpisah. Tidak ada tanda-tanda ia terseret jauh oleh arus. Seolah-olah ia dilindungi oleh sesuatu—atau seolah ia pergi dalam keadaan paling suci seorang manusia bisa pergi.
Erik berlutut di samping jenazah ibunya, menyentuh tangan yang masih utuh itu dengan sangat pelan, seakan takut merusaknya.
“Jasad mama masih bisa saya luruskan kakinya. Tangan mama juga bisa saya lipatkan… baik-baik sekali,” ujar Erik dengan suara parau.
Ungkapannya membuat beberapa warga lain tidak mampu lagi menahan tangis. Mereka menutup mulut, menunduk, dan sebagian saling memegang bahu satu sama lain.
Seorang ibu-ibu yang menyaksikan proses itu berbisik pelan, “Alangkah baiknya beliau pergi dalam keadaan salat… Meninggal dalam keadaan mukena. Takdir mulia.”
Relawan Basarnas kemudian mengangkat tubuh Ernita dengan penuh kehati-hatian, seolah membawa seseorang yang tidur, bukan seseorang yang sudah tiada. Mukena itu—yang menjadi saksi detik-detik terakhir hidupnya—tetap melekat, tidak mereka lepas, tidak mereka ubah. Mereka menghormati cara sang ibu pergi.
Erik mengikuti dari belakang, menatap langkah demi langkah pengangkatan jenazah ibunya. Sesekali ia mengusap wajahnya sendiri yang basah oleh air mata dan lumpur. Setiap langkah mengingatkannya bahwa pencarian terpanjang dalam hidupnya akhirnya berakhir—namun dengan jawaban yang menyayat hati.
Ketika jenazah ibunya dibawa menuju musala untuk dimandikan dan disalatkan, seluruh warga yang melihat ikut menundukkan kepala. Tidak ada suara. Tidak ada percakapan. Hanya suara isak tertahan dan langkah kaki yang bergerak pelan.
Momen itu menjadi salah satu pemandangan paling menggetarkan dari seluruh rangkaian pencarian di Palembayan. Momen ketika seorang ibu ditemukan dalam keadaan terhormat, tenang, dan masih berbalut mukena—seolah mengingatkan bahwa ia pergi dalam keadaan terbaik yang bisa dimiliki seorang manusia.
Pemakaman yang Sunyi, Penuh Doa, dan Menggetarkan Jiwa
Jenazah Ernita tidak dibawa ke pos pengumpulan jenazah seperti prosedur umum. Karena pencarian dilakukan langsung oleh keluarga dan Basarnas, identitasnya sudah dipastikan.
Ia dibawa ke musala sekitar satu kilometer dari lokasi ditemukan. Setelah disalatkan, ia dimakamkan di pemakaman keluarga.
Tidak ada upacara formal. Tidak ada sirene.
Yang ada hanya suara tahlil dan isak tertahan keluarga yang tak menyangka bahwa salat menjadi ibadah terakhir Ernita sebelum berpulang. (*)
Sumber: BBC Indonesia












