Keberadaan ratusan rumah makan khas Indonesia di Kamboja, terutama di wilayah Bavet dan Poipet, kini ramai diperbincangkan di media sosial.
Fenomena ini memunculkan spekulasi di kalangan netizen. Banyak yang mengaitkan keberadaan rumah makan Indonesia tersebut dengan meningkatnya aktivitas situs judi online di wilayah tersebut.
Seorang pengguna X dengan akun @_n0t4lfiaccount, misalnya, menyatakan bahwa banyaknya warung makan ini tak lepas dari permintaan besar di lokasi yang diduga menjadi pusat aktivitas ilegal tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jumlah penjual makanan khas Indonesia jauh lebih banyak dibanding negara lain,” tulisnya.
Spekulasi ini diperkuat oleh nama-nama warung makan yang sangat khas, seperti 0Pecel Lele Mantul, Bakso Bocil, dan Gultik Blok M, yang mencerminkan selera Indonesia.
Apakah Kamboja Jadi Jalur Diaspora Judol?
Sementara itu, istilah diaspora jalur judol pun menjadi tren di media sosial. Banyak yang beranggapan bahwa para pekerja migran Indonesia terlibat dalam bisnis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa netizen bahkan menyebut bahwa keberadaan warung makan Indonesia di Kamboja menjadi indikator jelas bahwa banyak PMI yang bekerja di industri tersebut.
Keberadaan rumah makan khas Indonesia di Kamboja jelas mencerminkan kuatnya daya tarik kuliner Nusantara. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang realitas sosial pekerja migran yang terlibat dalam bisnis ilegal.
Sementara makanan khas Indonesia membawa rasa nyaman, banyak pekerja mengaku sulit kembali ke tanah air karena berbagai keterbatasan.
Keberadaan rumah makan Indonesia di Kamboja mengundang banyak perhatian, baik dari sisi kuliner maupun kontroversi sosial.
Meski menjadi solusi bagi diaspora yang merindukan makanan tanah air, fenomena ini juga membuka diskusi tentang kondisi pekerja migran dan aktivitas ilegal yang menyertainya. (*)
Penulis : Ari Tanjung
Editor : Ari Tanjung
Halaman : 1 2