Topikseru.com – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda kawasan Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Kota Sibolga memicu diskusi serius soal penyebab kerusakan ekologis di wilayah tersebut. Sejumlah organisasi mahasiswa dan pegiat lingkungan menilai bencana yang menelan puluhan korban jiwa itu tidak semata-mata dipicu cuaca ekstrem, tetapi juga didorong aktivitas industri ekstraktif di bentang alam Batang Toru.
Tambang Emas Martabe yang dikelola PT Agincourt Resources (PTAR) kembali mendapat sorotan, bersama sejumlah perusahaan lain yang beroperasi dalam lanskap ekosistem itu.
HMI-MPO Medan Soroti Eksplorasi Tambang Martabe

Himpunan Mahasiswa Islam–Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) Cabang Medan menyoroti aktivitas eksplorasi tambang emas PT Agincourt Resources (PT AR), yang dianggap turut memicu gangguan ekologis di kawasan tersebut.
Ketua Umum HMI-MPO Cabang Medan, Rilla Sitorus, mengungkapkan bahwa laporan resmi PTAR periode Juli – September 2023 menunjukkan kegiatan eksplorasi besar-besaran di wilayah Sibolga yang terhubung langsung dengan bentang alam Batang Toru.
“Laporan itu menunjukkan PTAR menghabiskan lebih dari USD 1,2 juta atau sekitar Rp 18,7 miliar untuk eksplorasi hanya dalam tiga bulan, termasuk pengeboran sepanjang 10.764 meter,” ujar Rilla kepada Topikseru.com, Rabu (26/11/2025).
Rincian kegiatan pengeboran dalam laporan tersebut, antara lain:
- Juli 2023: 3.425 meter
- Agustus 2023: 3.411 meter
- September 2023: 3.928 meter
Menurut Rilla, aktivitas pengeboran dan eksplorasi dalam skala tersebut sangat berpotensi mengganggu sistem hidrologi Batang Toru.
“Eksplorasi sebesar itu bukan hanya berisiko, tetapi sangat mungkin menjadi penyebab langsung terganggunya keseimbangan lingkungan di Batang Toru,” ujar Rilla Sitorus.
Ancaman terhadap Habitat Orangutan Tapanuli dan Orangutan Sumatera
Selain dugaan kerusakan hidrologi, HMI-MPO menyoroti dampak hilangnya tutupan hutan terhadap keberlangsungan dua spesies primata endemik, yaitu Pongo tapanuliensis (Orangutan Tapanuli) dan Pongo abelii (Orangutan Sumatera).
Rilla menegaskan, kawasan Batang Toru merupakan habitat penting bagi kedua spesies langka tersebut. Jika eksplorasi terus berlanjut, ia khawatir ekosistem akan semakin rusak dan populasi satwa kunci itu semakin terancam.
HMI-MPO mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum agar membuka penyelidikan mendalam terhadap dugaan keterkaitan aktivitas tambang dengan bencana ekologis di Tapanuli Raya.
Organisasi itu meminta agar proses investigasi dilakukan secara independen, melibatkan akademisi lingkungan, dan organisasi masyarakat sipil, serta bebas dari potensi intervensi pihak mana pun.
“Kita tidak boleh membiarkan Batang Toru terus rusak. Ada tanggung jawab moral untuk memastikan bencana serupa tidak berulang,” tutur Rilla.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Agincourt Resources belum memberikan keterangan resmi terkait tuduhan tersebut.
WALHI Sumut Sorot 7 Perusahaan Termasuk Tambang Emas Martabe

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menduga tujuh perusahaan yang beroperasi di kawasan Ekosistem Batang Toru menjadi faktor utama yang memperparah bencana banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Tapanuli Raya, Sumatera Utara.
Bencana yang melanda sejak beberapa hari terakhir menyebabkan puluhan ribu warga mengungsi, merusak puluhan ribu rumah, fasilitas kesehatan, sekolah, rumah ibadah, hingga infrastruktur.
Data sementara dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut mencatat kerusakan terparah terjadi di wilayah yang berada di dalam lanskap Ekosistem Batang Toru, meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.
Ekosistem Kunci Bukit Barisan Terdegradasi
Ekosistem Batang Toru selama ini dikenal sebagai salah satu kawasan paling penting di bentang Bukit Barisan. Kawasan ini menjadi sumber air, penyangga DAS, sekaligus habitat bagi spesies langka seperti orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, serta berbagai satwa dilindungi lainnya.
Namun, WALHI menilai tutupan hutan di kawasan tersebut terus berkurang akibat aktivitas industri ekstraktif. Hilangnya vegetasi hutan dinilai mengurangi daya serap air dan memicu besarnya skala bencana.
“Kerusakan ini bukan sekadar dampak cuaca ekstrem. Citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar wilayah terdampak. Artinya, ada aktivitas yang mempercepat degradasi ekologis,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, kepada topikseru.com, Rabu (27/11/2025).
7 Perusahaan Diduga Berkontribusi pada Kerusakan Lingkungan
Rianda mengungkapkan, terdapat tujuh korporasi yang beroperasi di dalam ataupun di sekitar kawasan Batang Toru dan menduga kuat berperan dalam kerusakan tersebut:
- PT Agincourt Resources – Tambang Emas Martabe
- PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) – Proyek PLTA Batang Toru
- PT Pahae Julu Micro-Hydro Power – PLTMH Pahae Julu
- PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput
- PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR di Tapanuli Selatan
- PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit di Tapanuli Tengah
- PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit di Tapanuli Selatan
“Ketujuh-nya berada di wilayah sensitif ekologi yang merupakan koridor penting bagi keberlangsungan ekosistem Batang Toru,” ujar Rianda.
Rincian Aktivitas Perusahaan yang Disebut Sebabkan Kerusakan
WALHI Sumut memaparkan sejumlah dugaan kerusakan yang terkait dengan operasi perusahaan-perusahaan tersebut:











