Topikseru.com – Komnas HAM mendesak agar kekerasan di kawasan Sihaporas, Kabupaten Simalungun, segera dihentikan. Komisioner Komnas HAM Saurlin P. Siagian menegaskan negara, khususnya kepolisian dan kementerian terkait, harus hadir menyelesaikan akar konflik agar peristiwa bentrokan tidak berulang.
Usai bertemu dengan jajaran Polda Sumut di Medan, Jumat (3/10/2025), Saurlin menyampaikan bahwa Komnas HAM tengah mendalami insiden bentrokan antara masyarakat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang pecah pada 22 September 2025 lalu.
Peristiwa tersebut menimbulkan puluhan korban luka dari kedua belah pihak. “Kami menegaskan yang terpenting saat ini, kekerasan harus dihentikan. Tidak boleh lagi ada aksi kekerasan di lokasi,” ujar Saurlin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Komnas HAM, berdasarkan keterangan lapangan, dari pihak masyarakat tercatat sekitar 30 orang menjadi korban, beberapa di antaranya harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Dari pihak PT TPL juga dilaporkan ada korban, meski jumlah pastinya tidak dirinci.
Komnas HAM juga menerima informasi dari kepolisian bahwa aparat tiba di lokasi sekitar empat hingga lima jam setelah bentrokan pecah. Saat itu polisi berfokus pada evakuasi korban dari kedua belah pihak ke rumah sakit.
Saurlin menjelaskan, fakta ini menjadi catatan serius karena waktu respons yang cukup lama menimbulkan pertanyaan publik.
“Kami ingin mendalami kenapa bisa terjadi kekerasan sebesar itu, siapa pelakunya, dan bagaimana korban-korban bisa dilindungi. Itu yang menjadi perhatian Komnas HAM,” tambahnya.
Latar Belakang Konflik Sihaporas
Konflik lahan di Sihaporas bukan peristiwa baru. Selama bertahun-tahun, masyarakat adat di kawasan itu mengklaim bahwa tanah yang mereka tempati dan kelola adalah tanah ulayat. Namun, perusahaan PT TPL mengklaim kawasan tersebut sebagai bagian dari konsesi hutan tanaman industrinya.
Ketidakjelasan batas wilayah inilah yang kerap memicu ketegangan. Di satu sisi, warga menganggap lahan itu warisan leluhur yang harus dijaga. Di sisi lain, perusahaan merasa punya dasar hukum berupa izin konsesi yang diberikan oleh negara.
Benturan kepentingan ini berulang kali menimbulkan gesekan. Sebelum peristiwa 22 September, konflik serupa juga beberapa kali muncul, baik dalam bentuk protes warga, aksi blokade, maupun bentrokan fisik.
Penulis : Mangara Wahyudi
Editor : Muchlis
Halaman : 1 2 Selanjutnya