Lingkungan

Banjir Bandang dan Topan Senyar Ubah Lansekap Batang Toru, Konservasi Indonesia Dorong Evaluasi Kebijakan Berbasis Data

×

Banjir Bandang dan Topan Senyar Ubah Lansekap Batang Toru, Konservasi Indonesia Dorong Evaluasi Kebijakan Berbasis Data

Sebarkan artikel ini
banjir bandang Batang Toru
Kondisi di Huta Godang, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Foto: Dok. Konservasi Indonesia/Aristya Tri Rahayu

Topikseru.comBencana banjir bandang dan topan Senyar yang melanda kawasan Tapanuli tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga memunculkan risiko baru terhadap keanekaragaman hayati Sumatra dan keselamatan masyarakat yang bergantung pada Ekosistem Batang Toru.

Perubahan lansekap pascabencana ini menjadi peringatan bahwa pengelolaan Batang Toru membutuhkan respons kebijakan yang cepat, adaptif, dan berbasis data ilmiah.

Konservasi Indonesia (KI) menilai, tekanan terhadap ekosistem Batang Toru berpotensi meningkat jika upaya pemulihan dilakukan secara parsial dan tidak terintegrasi.

Oleh karena itu, KI mendorong agar kajian ilmiah, evaluasi perizinan, penataan ruang yang responsif terhadap kondisi ekologis terbaru, serta program restorasi dijalankan sebagai satu rangkaian kebijakan yang saling terhubung.

Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, menegaskan bahwa bencana di Batang Toru menunjukkan keterkaitan erat antara perlindungan lingkungan dan keselamatan manusia.

“Peristiwa bencana di Batang Toru mengingatkan kita bahwa kerja konservasi tidak bisa dipisahkan dari upaya keberlanjutan, salah satunya untuk keselamatan manusia. Perlindungan ekosistem, penataan ruang yang adaptif, serta pencegahan dan pengelolaan risiko bencana harus berjalan bersama agar pembangunan benar-benar berkelanjutan,” ujar Meizani.

Risiko Ekologis Pascabencana Kian Kompleks

Perubahan lansekap pascabencana di Batang Toru menegaskan pentingnya pendekatan berbasis data dalam perencanaan ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Tanpa pemahaman yang akurat terhadap perubahan fisik kawasan, risiko ekologis dan sosial berpotensi terus berulang meskipun upaya pemulihan telah dilakukan.

Konservasi Indonesia mencatat sejumlah risiko baru yang muncul akibat perubahan fisik kawasan, di antaranya fragmentasi habitat akibat longsor dan terbukanya lahan, perubahan alur sungai dan kawasan sempadan yang mengganggu fungsi ekologis, serta meluasnya aktivitas manusia ke area yang semakin rentan pascabencana.

Kondisi ini berpotensi mengubah ruang jelajah satwa liar dan meningkatkan konflik antara manusia dan satwa di sekitar ekosistem.

Menanggapi kondisi tersebut, Meizani menekankan bahwa perubahan lansekap pascabencana harus dijadikan dasar dalam merumuskan arah kebijakan ke depan.

“Perubahan lansekap pascabencana memberi konteks baru bagi pengambilan kebijakan dan penyusunan program perlindungan dan pengelolaan lansekap. Pemerintah memiliki peluang penting untuk memastikan rencana tata ruang benar-benar mencerminkan kondisi lapangan terkini,” katanya.

banjir bandang Batang Toru
Kondisi di Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah. Foto: Dok.Konservasi Indonesia/Aristya Tri Rahayu

Pentingnya Kajian Spasial dan Jawaban Berbasis Bukti

Sumatra Policy Manager Konservasi Indonesia, Dedy Iskandar, menyampaikan bahwa pascabencana, berbagai pertanyaan publik muncul secara wajar, termasuk terkait temuan kayu-kayu di sejumlah desa terdampak. Menurutnya, isu tersebut perlu dijawab melalui pendekatan berbasis bukti, bukan asumsi.

Baca Juga  Banjir Bandang dan Longsor di Sumatera: Lebih dari 900 Jiwa Melayang, Ratusan Lainnya Masih Dalam Pencarian

“Isu yang berkembang di masyarakat tidak bisa dijawab dengan asumsi. Diperlukan analisis yang komprehensif agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam mengambil langkah perbaikan,” ujar Dedy.

Dia menekankan bahwa kajian spasial pascabencana menjadi fondasi penting untuk memahami perubahan tutupan hutan dan lahan secara objektif. Namun, menurut Dedy, perubahan lansekap Batang Toru tidak dapat dijelaskan hanya melalui peta.

“Diperlukan kajian yang lebih menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang agar penataan ruang ke depan benar-benar menyesuaikan dengan kondisi ekologis terbaru,” katanya.

Peran Strategis Pokja Ekosistem Batang Toru

Dalam konteks pemulihan, Dedy menilai Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (Pokja EBT) memiliki peran strategis untuk bergerak lebih cepat dan terkoordinasi. Dinamika pascabencana menuntut kerja lintas sektor agar tidak berjalan sendiri-sendiri.

“Pokja menjadi ruang penting untuk menyatukan langkah. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru perlu segera didorong sebagai rujukan bersama,” ujarnya.

Dia menambahkan, percepatan kerja Pokja EBT perlu disertai kejelasan mekanisme pembiayaan berkelanjutan dan strategi komunikasi yang efektif, agar kebijakan yang disusun dapat dipahami dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh pemangku kepentingan.

Penataan Ruang dan Peran Desa Penyangga

Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia, Doni Latuparisa, menambahkan bahwa keberhasilan pengelolaan Ekosistem Batang Toru sangat bergantung pada kondisi kawasan di sekitarnya, terutama desa-desa yang bersentuhan langsung dengan kawasan ekosistem.

“Pengelolaan ekosistem Batang Toru tidak bisa dilepaskan dari kondisi desa-desa di sekitarnya. Ketika wilayah pinggiran mengalami kerusakan, tekanan terhadap kawasan inti akan terus meningkat,” kata Doni.

Dia menilai penataan ruang pascabencana akan lebih kuat jika melibatkan lintas sektor, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengingat keterkaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai, infrastruktur, dan mitigasi risiko bencana.

Secara ekologis, Doni menegaskan bahwa Batang Toru membutuhkan luasan kawasan yang utuh agar fungsinya tetap berjalan optimal. Luas sekitar 240.000 hektare dipandang sebagai batas minimum yang perlu dipertahankan.

Berdasarkan analisis KI, dalam lima tahun terakhir terjadi pembukaan lahan sedikitnya 10.000 hektare, dengan lebih dari 73 persen berada di wilayah hulu pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut.

Konservasi Indonesia menilai perubahan lansekap pascabencana harus direspons sebagai proses bersama.

Pendekatan kolaboratif, adaptif, dan berbasis data dipandang sebagai kunci untuk menjaga Batang Toru sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati Sumatra, sekaligus ruang hidup yang lebih aman bagi masyarakat di sekitarnya.